Oleh: Ev Yuzo Adhinarta
Membaca banyak buku tentang doa, mengikuti seminar doa, meneliti jurnal-jurnal dan buah karya mahapenting para saleh tentang doa tidak membuat kita otomatis bisa dan pandai berdoa. Tapi untunglah, doa yang efektif tidak identik dengan metode, frekuensi, dan kefasihan kalimat yang dipakai dalam berdoa. Allah yang kepadaNya kita berdoa adalah pribadi, itu sebabnya doa bukan mantra yang impersonal.
Namun perlu diingat bahwa bagaimana seseorang berdoa menunjukkan bagaimana ia mengenal Tuhan dan memperlakukan Tuhan dalam doa-doanya. Doa harus dinaikkan dengan iman berdasarkan pengenalannya akan Tuhan. Sehingga sikap seseorang tentang/terhadap doa mencerminkan hubungan pribadinya dengan Tuhan.
Doa Minta Jodoh
Ya Tuhan, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah ... Tapi kalau bukan jodohku, jodohkanlah ... Jika dia tidak berjodoh denganku, maka jadikanlah kami jodoh ... Kalau dia bukan jodohku, jangan sampai dia dapet jodoh yang lain, selain aku ... Kalau dia tidak bisa dijodohkan denganku, jangan sampai dia dapet jodoh yang lain, biarkan dia tidak berjodoh sama seperti diriku ... Dan saat dia telah tidak memiliki jodoh, jodohkanlah kami kembali ... Kalau dia jodoh orang lain, putuskanlah! Jodohkanlah denganku ... Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain, biar orang itu ketemu jodoh yang lain dan kemudian jodohkan kembali dia denganku ... Aaaamin.
Sumber: E-mail “Doa Minta Jodoh” di Fica-net (beberapa tahun silam)
Setujukah Anda dengan doa tersebut di atas? Mengapa? Diakui atau tidak, banyak orang sering berdoa sedemikian. Ini adalah masalah sikap doa. Dan sikap doa berkaitan dengan pengenalan seseorang terhadap Allah, yang kepadaNya ia berdoa. Sikap kita ketika berbicara dengan seorang guru besar, pejabat, atau orang tua yang kita hormati tentu berbeda dengan sikap kita ketika berbicara adik, sahabat lama, atau pegawai/bawahan kita. Mengapa? Ini berkaitan dengan level pembicara dan lawan bicara. Kepada yang (kita pandang) berlevel lebih tinggi biasanya kita lebih sopan, penuh hormat, tidak membentak, dengan pilihan kata-kata yang apik dan tereja dengan baik dan benar. Kepada yang berlevel sama biasanya kita lebih akrab, intim, menggunakan bahasa sehari-hari, dan senda gurau. Kepada yang berlevel lebih rendah biasanya kita lebih kasar, bernada memerintah, tidak perduli perasaan orang lain, dan tidak jarang pula menyakitkan.
Bagaimana sikap Anda ketika berbincang dalam doa kepada Allah yang Mahatinggi dan Mahadahsyat itu? Sikap berdoa yang benar seperti apa yang seharusnya kita miliki? Belajar dari nabi Habakuk akan menolong kita menjawabnya.
Dalam pergulatannya dengan realita hidup yang dihadapi, nabi Habakuk mengalami konflik yang dahsyat dalam batinnya. Konflik antara apa melawan apa? Antara kehendak diri dengan kehendak Tuhan. Inilah pergulatan mendasar seseorang yang berdoa. Mengapa Tuhan tidak menjawab doaku? Aku harus berdoa seperti apa lagi? Berapa lama lagi Tuhan? Kalau doa tidak mengubah kehendak Tuhan, lalu buat apa berdoa?
Habakuk melewati beberapa fase dalam kehidupan doanya sampai akhirnya ia mengalami kemenangan dan bertumbuh dalam imannya kepada Tuhan. Bergumul dalam doa memang tak terhindarkan dalam kehidupan orang percaya sejati, tetapi masalahnya adalah apakah pergumulan itu menuju ke arah yang benar. Pergumulan ke arah yang salah tidak membawa seseorang bertumbuh di dalam Tuhan, doa menjadi sia-sia, membentur langit-langit atap dan jatuh kembali ke bumi. Tidak perduli seberapa rajin dan tekunnya seseorang berdoa, doa menjadi tidak berguna selama sikap dalam berdoa tidak berubah. Fase-fase pergumulan Habakuk memberikan arah yang jelas bagi orang Kristen segala zaman untuk bertumbuh. Rindukah Anda bertumbuh melalui pergumulan yang sehat dalam doa? Teladanilah nabi Habakuk!
Fase I: Minta (Habakuk 1:1-11)
“Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepadaMU: ‘Penindasan!’ tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau ...” (Hab. 1:2-3)
Pada fase ini yang menjadi fokus dalam doa adalah permintaan, permintaan, dan permintaan. Permintaan yang dimaksud di sini adalah permintaan yang bersifat antroposentris, yaitu permintaan yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia (diri sendiri dan/atau juga orang lain). Dan ketika permintaan tersebut tidak terpenuhi seseorang jadi bertanya-tanya: Apakah Tuhan mendengar doaku? Bagi orang yang berdoa dalam fase ini, berdoa berarti meminta dan jawaban doa identik dengan pengabulan permintaan. Pemuasan diri menjadi tujuan akhir doa dan Tuhan diperlakukan sebagai mesin ATM atau dewa-dewi imajinasi yang siap kapanpun untuk diperalat. Jika Tuhan tidak menjawab seperti yang dia mau dalam waktu yang cukup lama, biasanya orang pada fase ini akan menganggap Tuhan tidak menjawab doanya dan berhenti berdoa, ngambek, kecewa, hilang iman.
Pada fase ini seseorang sedemikian terobsesi dengan dirinya, bukan kepada Tuhan. Yang penting adalah bagaimana Tuhan bisa memuaskan diri, bukannya diri memuliakan Tuhan. Dan karena begitu sibuknya berdoa sampai-sampai tidak punya waktu untuk mendengar jawaban doa.
Siapa bilang Tuhan tidak menjawab doa-doa para pendoa pada fase ini? Bukankah Dia yang memerintahkan manusia untuk berdoa kepadaNya dan berjanji untuk memenuhi setiap permintaan kita dengan cara terbaik? Tuhan menjawab doa Habakuk sekalipun dinaikkan dengan sikap yang tidak benar (Hab. 1:5-11). Demikian pula dengan doa-doa yang kita naikkan. Hanya saja seperti Habakuk (Hab. 1:12-17), kita sering tidak siap untuk menerima jawaban doa dari Tuhan karena tidak seperti yang kita mau. Argumentasi dan keberatan atas jawaban doa Tuhan yang kita naikkan ke langit seringkali mengabaikan kasih sayang, kemahatahuan, dan kedaulatan Tuhan atas hidup kita. Mata jasmani dan rohani kita jadi buta untuk sesuatu yang jauh lebih baik dan mulia yang Tuhan janjikan bagi setiap anakNya.
Jika kehidupan doa Anda berada pada fase ini, tidak apa-apa! Ini baru awal perjalanan doa Anda. Jangan berhenti! Lanjutkan ke fase berikutnya!
Fase II: Minta - Dengar (Habakuk 1:12-2:20)
“Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankanNya kepadaku, dan apa yang akan dijawabNya atas pengaduanku.” (Hab. 2:1)
Orang yang mau mendengar orang lain adalah lebih bijak daripada orang yang hanya mau didengar. Pernahkah Anda mempunyai pengalaman memiliki seorang teman yang suka berbicara tetapi jarang mau mendengar? Setiap kali bertemu dia bercerita tentang dirinya dan bahkan meminta pertolongan kita, namun pada gilirannya kita berbagi rasa atau meminta pertolongan dia mengelak dengan seribu satu macam alasan. Menyebalkan, bukan? Namun seorang teman yang mau mendengar keluh kesah dan pergumulan kita biasa kita sebut sebagai sahabat. Tuhan sudah menjadi sahabat terbaik buat kita. Ia mendengar setiap doa dan menjawab sesuai dengan apa yang Ia anggap terbaik (dan memang itulah yang terbaik). Tidak pernah terlalu cepat dan terlambat. Segala sesuatu indah pada waktu yang tepat, waktuNya. Namun apakah kita sudah menjadi sahabat Tuhan, yang selalu rindu mendengar perkataan dan pernyataan kehendakNya, yaitu isi hati Tuhan?
Pendoa pada fase kedua ini sudah berhasil melepaskan fokus dari permintaan yang bersifat antroposentris. Fokusnya kini adalah jawaban doa. Nabi Habakuk membuat sebuah langkah iman untuk memindahkan fokusnya dari permintaan kepada jawaban doa. “Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara ...” Berdiri di menara berarti berada di posisi yang lebih tinggi daripada permukaan bumi. Dari sana kita bisa melihat segala sesuatu lebih jelas. Para penjaga malam ditempatkan di menara untuk mengetahui apa yang terjadi di bawah sana sekalipun di tempat yang jauh. Seperti seorang penjaga yang menanti utusan yang kembali membawa berita, demikianlah pendoa pada fase ini berdoa dan menanti jawaban doa. Ia tidak menyibukkan diri dengan apa yang dimintanya tetapi “menantikan apa yang akan difirmankanNya” dan “apa yang akan dijawabNya” atas segala pengaduan dan permintaan (Hab. 2:1).
Pada fase ini seseorang harus mengembangkan kepekaan mendengar jawaban doa dan seni menunggu. Menunggu memang tidak enak. Tetapi menunggu menghindar-kan kita dari tindakan buru-buru yang justru merusak segalanya.
Seorang ibu yang sedang panik karena anaknya tiba-tiba kejang, segera menelepon dokter terdekat dan dengan nafas terengah berkata: “Dokter, dokter, cepat datang ke rumah saya, anak saya kejang-kejang. Cepat dokter, sekarang juga, cepat, cepat!!!” Lalu gagang telepon itupun ditutup. Sang dokter yang baru saja hendak naik ke tempat tidurnya itu segera mengemasi peralatan dan memasukkannya ke dalam tas seperti biasanya. Baru terpikir olehnya, “Siapa tadi yang menelepon saya?” Tidak lama kemudian telepon kembali berdering, “Dokter, kenapa belum berangkat?” “Sebentar, siapa nama Anda?” jawab sang dokter. “Saya ibu Adeline! Cepat dok, cepat berangkat ya? Sekarang!” “Sebentar, alamat Anda ...” (telepon terputus). Sang dokter segera membuka buku teleponnya untuk mencari nomor telepon dan ia menemukan. Segera sang dokter menelepon ibu Adeline. Namun pada waktu yang sama, ibu Adeline juga menelepon sang dokter. Akibatnya, setelah hampir setengah jam mereka saling menelepon dan tidak pernah tersambung, sesuatu yang mengenaskan terjadi. Sang anak tidak tertolong lagi. “Halo, ibu Adeline, ini saya, dokter Marvin. Saya mau tanya, alamat Anda di mana?” “Dia sudah meninggal, Dok!”
Menanti jawaban Tuhan lebih baik daripada bertindak tergesa-gesa. Tuhan tidak pernah terlalu cepat dan terlambat. Percayalah kepadaNya!
Habakuk belajar percaya kepada Tuhan. Ia menanti jawaban atas segala doanya. Dan Tuhan (seperti pada fase sebelumnya) tetap menjawab doa yang dinaikkan. Jawaban Tuhan tidak pernah berubah karena sikap manusia yang berubah. Jawaban Tuhan bersifat progresif tapi tidak pernah berkontradiksi. Rencana Tuhan tidak pernah berubah hanya karena kita berdoa. Kalau pada pasal pertama kitab Habakuk Allah menyatakan bahwa Ia sedang menghukum bangsa Israel dengan membangkitkan bangsa Kasdim, maka pada pasal kedua Allah menyatakan bahwa bangsa Kasdim pun akan menerima hukuman atas kesombongan dan keangkuhannya. Menerima jawaban pertama membuat nabi Habakuk bingung (Hab. 1:12). Tetapi jawaban berikutnya menentramkan hati. Jawaban demi jawaban doa yang progresif, yang membentuk kerangka pikir kita tentang Allah dan karyaNya akan diterima ketika kita belajar menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menanti jawaban Tuhan, menanti Tuhan bekerja. Pasal kedua ditutup dengan kesimpulan yang luar biasa: “Tetapi TUHAN ada di dalam baitNya yang kudus” (Hab. 2:20a). Melalui kalimat ini nabi Habakuk mengekspresikan imannya kepada Allah YAHWEH,
Allah yang selalu setia dalam menepati janjiNya. Dia adalah Allah yang selalu bertahta atas segala sesuatu, termasuk segala kejadian di bumi, termasuk juga pernak-pernik kehidupan kita. Mengenal Allah yang demikian, Habakuk menyerukan: “Berdiam dirilah di hadapanNya, ya segenap bumi!” Sudahkah Anda mendapatkan rahasia besar nan luar biasa ini?
Jika kehidupan doa Anda berada pada fase ini, tidak apa-apa! Jangan berhenti! Lanjutkan ke fase berikutnya!
Fase III: Minta - Dengar - Beriman (Habakuk 3)
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan... namun aku bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku...” (Hab. 3:17-19)
Apakah Anda melihat perubahan nada dan suasana dalam doa nabi Habakuk di pasal 3 ini? Apa yang berubah di sini? Apakah bangsa Israel dilepaskan dari tangan orang Kasdim? Apakah Allah berubah? Apakah seluruh pertanyaan nabi Habakuk—Berapa lama lagi, TUHAN?—terjawab? Tidak! Segala yang ada di luar diri nabi Habakuk tidak berubah. Yang berubah adalah yang ada di dalam diri sang nabi. Dan inilah doa yang memberi kemenangan dan pertumbuhan rohani. Inilah perubahan yang sejati, yang esensial, dan bernilai kekal. Dari mengikut diri menjadi mengikut Tuhan. Dari hidup untuk diri sendiri menjadi hidup untuk Tuhan. Bukankah perubahan ini yang berdampak di dalam kekekalan?
Pada fase ini pendoa tidak berhenti meminta dan mendengar. Meminta dan mendengar adalah unsur yang penting dalam sebuah doa, hanya saja meminta dan mendengar bukan lagi menjadi fokus doa. Fokus pendoa pada fase ini adalah diri Allah sendiri. Ia akan menganggap pengenalannya akan Allah secara pribadi jauh lebih penting daripada pemberian atau jawaban doa. Paulus pernah berkata: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya dan persekutuan dalam penderitaanNya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya ...” (Flp. 3:10). Doa para pendoa pada fase ini akan dipenuhi dengan puji-pujian yang tulus (tidak bermulut manis yang manipulatif) dan penyerahan total kepada kehendak Allah (“Biarlahkehendak Tuhan yang jadi”). Perhatikan pujian dan penyerahan diri nabi Habakuk dalam pasal 3 ini! Perhatikan pula pengenalannya akan Allah yang telah menyatakan diri melalui segenap perbuatanNya dalam sejarah peradaban manusia!
Setelah mengalami peningkatan dalam pengenalan pribadinya akan Allah (pribadi, sifat, dan karyaNya) ia tidak lagi menjadi kuatir akan apapun juga, termasuk hari depan. Sekalipun masih tebersit ketakutan dan ketidakmengertian secara manusiawi, namun imannya kepada TUHAN memberinya kekuatan untuk mampu “berjejak di bukit-bukit” batu kehidupannya.
Apakah pada fase ini sang pendoa akan berhenti meminta sesuatu melalui doanya karena sudah menyerahkan semuanya kepada Tuhan? Tidak! Lalu apa bedanya? Ia tetap meminta tetapi tidak sembarangan meminta. Ia tahu apa yang seharusnya diminta, yang terpenting, yang esensial, yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah kunci kuasa doa! Doa yang PASTI dikabulkan adalah doa yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan doa yang memanipulasi Tuhan untuk kepentingan diri. Tuhan Yesus sendiri menyibakkan rahasia kuasa doa ini pada malam sebelum Ia disalibkan: “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firmanKu tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dankamu akan menerimanya. Dalam hal inilah BapaKu dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak ... Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu” (Yoh. 15:7-8, 24). Yakobus menulis: “Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yak. 4:2b-3).
Di tengah pergumulan dan masalah hidupnya pendoa pada fase ini akan menuntut diri untuk mengenal Allah dan kehendakNya secara pribadi (dengan Alkitab sebagai sarana). Ia akan semakin rajin berdoa karena Tuhan pasti menjawab setiap doa yang dipanjatkan. Ia tidak takut salah meminta karena ia tahu bahwa Tuhan tahu ia sedang berada dalam proses belajar mengenal kehendakNya. Dan Tuhan pasti menjawab sesuai dengan kehendakNya, bukan kehendak diri. Dalam sikap penuh iman dan sedia untuk taat kepada Tuhan seperti inilah seseorang bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan mengalami kemenangan demi kemenangan dalam hidupnya.
Jangan teladani "Doa Minta Jodoh" di atas, tapi maukah Anda lebih rajin berdoa untuk masa depan Anda dengan sikap yang benar? Bersediakah Anda menaklukkan diri di bawah tangan Tuhan yang mengasihi Anda? Siapkah Anda melihat tangan Tuhan bekerja leluasa dalam hidup Anda?
"Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." (Yak. 5:16)
Sumber..>>>>>>
"Not" Our Daily Bread
http://pendoa.blogspot.com/2009/07/doa-minta-jodoh.html
Kamis, 05 Mei 2011
Doa Minta Jodoh
Kamis, Mei 05, 2011
DARIUS
No comments
0 komentar:
Posting Komentar